Wisata Sejarah di Kebun Teh Malabar Pangalengan Peninggalan Bosscha

Siapa yang belum tahu Bosscha? Hayooo.. Gak apa-apa, karena kali ini saya akan bahas soal nama itu. Nama lengkapnya adalah Karel Albert Rudolf Bosscha. Bila Anda warga Bandung asli, tentu mengetahuinya. (Kalau tidak, kebangetannn!!)

Ya, nama Bosscha disematkan pada sebuah observatorium yang terletak di Lembang, tempat untuk meneropong bintang dengan alat teleskop khusus. Terlepas dari observatorium, Bosscha ternyata sebenarnya punya peran yang besar dalam mengembangkan Bandung.

Rumah Bosscha tampak depan.

Bosscha adalah warga Belanda Keturunan Jerman yang lahir di Den Haag atau ‘s-Gravenhage pada 15 Mei 1865. Di masa muda, Bosscha mengikuti pamannya pergi ke Indonesia. Bosscha ahli di bidang perkebunan dan ia berusaha mencari daerah yang bagus untuk pengembangan teh di Pulau Jawa. Singgahlah ia di daerah Malabar. Saat itu, Malabar (sekarang masuk wilayah Kecamatan Pangalengan Kabupaten Bandung) masih hutan belantara.

Bosscha pada 1896 kemudian membabat hutan Malabar untuk kemudian dijadikan sebagai perkebunan teh (yang sampai saat ini masih bisa kita pandang). Lambat laun, perkebunan teh milik Bosscha kian luas. Bahkan hingga ke timur: Garut.

Rumah Bosscha tampak samping.

Dilansir dari ayobandung.com, anak dari Jongos Bosscha, Suhara, yang kini menjabat sebagai Kepala Wilayah Agrowisata Malabar, mengatakan bahwa Bosscha adalah sosok yang dermawan. Dia selalu memperhatikan pekerjanya yang sebagian besar tentu dari pribumi. Ia melakukan banyak hal untuk menjamin kesejahteraan para pegawai.

Saat menyebut Bosscha, Suhara selalu mengawalinya dengan sebutan ‘Tuan’. “Tuan Bosscha itu penyayang. Selain manusia, beliau juga menyayangi binatang. Dulu di pinggir rumah, tuan bosscha memelihara rusa dan burung merak,” tutur Ara, sapaannya.

Bosscha Berhati Baik pada Pegawai

Bosscha, kata Ara, selalu bersikap lembut ke pegawainya, baik yang bekerja di kebun maupun di rumah. Bosscha juga tidak pernah berperilaku kasar. Namun, Bosscha punya kedisiplinan yang tinggi. Kedisplinan ini tidak lantas memaksa pegawainya untuk terus bekerja, sebab ia memperlakukan pegawai dengan sangat manusiawi.

“Tuan Bosscha kalau melihat ada pegawainya yang sedang bekerja di kebun lalu tiba-tiba merokok, pasti menyuruh pegawainya untuk istirahat,” tutur Ara. Sikap Bosscha yang demikian membuatnya disegani para pegawainya.

Mendirikan Klinik untuk Pegawai

Dahulunya bangunan ini adalah klinik pegawai perkebunan Malabar yang terletak di belakang rumah Bosscha.

Bosscha tidak sekadar memberi upah kepada para pegawainya. Dia juga banyak membangun fasilitas di kawasan perkebunan teh Malabar, bukan untuk kepentingan dirinya tapi pegawai. Misalnya, dengan mendirikan klinik di belakang rumahnya, khusus bagi pekerja. Di dalamnya ada mantri yang berjaga untuk mengobati para pegawai secara gratis.

Membangun Sekolah Malabar

Dalam hal pendidikan, Bosscha juga membangun sekolah di tengah-tengah perkebunan teh Malabar. Nama Belanda sekolah itu adalah Vervoloog Malabar atau Sekolah Rakyat Malabar pada 1901 bagi anak-anak di sekitar perkebunan. Bosscha menugaskan beberapa guru untuk mengajarkan baca tulis.

Bangun Perumahan Pegawai dan PLTA Cilaki

Di dekat rumahnya, Bosscha mendirikan perumahan bagi para pegawai perkebunan yang saat ini sudah berubah menjadi Desa Purbasari. Kemudian di sisi selatan perkebunan, Bosscha membangun Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Cilaki untuk menerangi wilayah Malabar. “Jadi dulu, walaupun PLN belum ada, wilayah di sini (Perkebunan Malabar) mah sudah terang,” ungkap Ara.

Hobi Musik dan Astronomi

Selain ahli perkebunan, Bosscha menggemari seni dan astronomi. Kecintaannya terhadap musik terlihat dari kebiasaan Bosscha yang sering memainkan pianonya di sudut rumah. Bahkan di pelataran rumahnya, Bosscha sengaja membuat tempat pertunjukkan musik tradisional seperti gamelan. Ia sering mengundang para pemusik untuk menggelar pertunjukan yang dapat dinikmati siapapun.

Membangun Observatorium

Bosscha menyukai musik. Kecintaannya di bidang astronomi diluapkan melalui pembangunan observatorium di Lembang. Bersama sahabatnya yang seorang ahli astronomi, Robert Albert Kerkhoven, Bosscha mendirikan sebuah pusat peneropongan bintang pada tahun 1923. “Tapi sayang, Tuan Bosscha menikmati keberadaan peneropongan bintang hanya sebentar. Karena baru tiga tahun setelah pembangunan peneropongan bintang selesai, beliau meninggal,” ujar Ara.

Wafatnya Sang Miliuner

Petaka itu dimulai saat Bosscha menunggangi kuda. Yang awalnya sehat, mendadak sakit tetanus setelah jatuh dari tunggangan hewan peliharaan. “Dulu kan di sini Tuan punya banyak kuda. Suka keliling pekebunan pakai kuda. Suatu waktu beliau terjatuh dari kuda, lalu kakinya terluka. Maklumlah, luka mungkin inveksi, ya kotor gitu, kena virus. Jadi tetanus,” kata Ara.

Meski telah diobati, tetap tidak bisa tertolong hingga akhirnya Bosscha wafat karena penyakit tersebut di usia 63 tahun pada 1928. Namun beberapa saat sebelum meninggal ia sempat berwasiat untuk di makamkan di lokasi favorit, tempat biasa ia bertetirah.

Pada prasasti Bosscha yang terletak tepat di dekat makam, tertulis jelas “Peristirahatannya yang terakhir di sini adalah tempat beliau bertetirah di sela-sela kesibukannya sehari-hari.”

Saat ini kita bisa melihat sebuah makam bergaya Eropa, lengkap dengan pilar-pilar dan kubah bercat putih, berdiri tegak di rerimbunan pohon di tengah-tengah Perkebunan Teh Malabar. Desain makam Bosscha disesuaikan dengan kepribadiaannya yang hangat. Kubah di atas makam disesuaikan dengan bentuk topi yang selalu dipakai Sang Juragan.

Selain sering didatangi oleh para peziarah, banyak wisatawan yang mengunjungi makam Bosscha. Sebab wilayah di sekitar makam memang menarik untuk dikunjungi. Saking seringnya dikunjungi oleh wisatawan, warga sampai membuat area parkir di dekat makam Bosscha.

Caca (65) yang merupakan pria tua penjaga parkiran Makam Bosscha menuturkan, wisatawan yang berkunjung ke makam tak hanya berasal dari Indonesia. Ia bahkan sering melihat para bule berziarah ke Makam Bosscha. “Banyak yang suka berkunjung ke sini (Makam Bosscha) mah. Apalagi kalau Sabtu dan Minggu, sekalian berjiarah, mereka juga suka foto-foto di kebun teh,” ujar Caca.

Bagi Caca, meski sudah meninggal, keberadaan Bosscha tetap membawa berkah bagi warga sekitar. Hal ini sangat ia rasakan, sebab dengan menjadi penjaga parkiran di makam, Caca juga memperoleh rezeki. “Ya alhamdulillah sejak pensiun dari PTPN, saya langsung ikut bantu-bantu ngurus makam ini, rezeki mah selalu ada saja setiap hari. Selain uang, kadang dapat makanan dari pengunjung,” kata Caca sambil tersenyum.

sumber: ayobandung.com

Leave a Comment

error: Sorry, you can\\\\\\\\\\\\\\\'t do this...